Sabtu, 21 Juni 2014

Mandat Ekologi Dan Pemilu 2014



Mandat Ekologi dan Pemilu 2014

Hajat demokrasi Pemilu 2014 yakni Pileg dan Pilpres akan segera digelar. Dalam Pileg 2014, sekitar 12 partai politik akan bertarung dan bersaing memperebutkan kursi anggota parlemen di level pusat dan daerah. Dalam Pileg 2014, Jawa Barat merupakan provinsi pemberi suara terbesar dan penyuplai kursi DPR RI terbanyak dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Sebanyak 92 orang anggota DPR RI dari 550 orang berasal dari Jawa Barat ditambah 5 orang anggota DPD. Di tingkat daerah sebanyak 50 orang akan menjadi anggota DPRD tingkat provinsi dan sekitar 1200 orang akan menjadi anggota DPRD di 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat.   

Krisis politik lingkungan hidup
Di balik kuantitas anggota parlemen (legislatif) yang dipilih dan diberikan mandat politik. Berdasarkan buku SLHI Kementrian Lingkungan Hidup RI, indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) Jawa Barat tahun 2012 pada rangking 27 dari 30 provinsi yang diteliti. Bahkan fakta lapangan, krisis ekologi seperti alih fungsi, pencemaran udara dan air, pertambangan, sengketa ruang dan lingkungan hidup serta bencana lingkungan hidup serta semakin memprihatinkan dan berdampak pada kualitas kehidupan masyarakat dan berujung malapetaka kematian.

Selama lima tahun ke belakang, peran partai politik dan fungsi anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah tidak signifikan berkontribusi dalam memperbaiki kebijakan politik yang pro lingkungan hidup (ekologi) dan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan. Kinerja parlemen dalam menjalankan fungsi legislasi, budjeting dan pengawasan tidak dijalankan dalam kerangka mendorong agenda kebijakan untuk memulihkan krisis dan bencana ekologi di Jawa Barat yang semakin meluas. Bagi Parlemen, krisis ekologi dan bencana yang menimpa seperti masalah biasa dan tidak penting jadi prioritas kebijakan untuk di dorong ke pemerintah pusat dan daerah.

Selama lima tahun, krisis politik lingkungan hidup di parlemen lebih buruk daripada krisis ekologi itu sendiri. Selama lima tahun ke belakang, kepemimpinan, integritas, kompetensi dan komitmen parlemen untuk pro publik dan lingkungan hidup tidak terbukti dijalankan. Dari kajian yang dilakukan, krisis politik lingkungan hidup dapat diperiksa diantaranya hampir sebagian kabupaten/kota di Jawa Barat tidak menjalankan mandat UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seperti KLHS, audit lingkungan, RPPLH, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah dan anggaran pemulihan lingkungan hidup rata-rata hanya 1% dari total belanja daerah dalam APBD.

Mandat dan Kaukus Lingkungan Hidup
Belajar dari pengalaman lima tahun ke belakang, dapat ditarik pembelajaran bahwa isu lingkungan hidup tidak menjadi mandat politik, isu utama dalam kebijakan politik daerah, bahkan isu prioritas dalam penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan lima tahunan dan tahunan di daerah. Situasi ini diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik kepala daerah yang belum memihak pada lingkungan hidup itu sendiri.

Menyikapi situasi ini, ke depan, diperlukan terobosan kebijakan politik lingkungan hidup yang lebih maju yang dijalankan parlemen dengan memaksimalkan tiga fungsi utama parlemen; legislasi, anggaran dan pengawasan yang memastikan pemerintah daerah mengarusutamakan isu lingkungan hidup.
Maintreaming isu perlindungan lingkungan hidup memang menjadi sangat penting diemban parlemen dan diakomodasi dalam kebijakan politik daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan.

Dalam jangka panjang, sangat diperlukan satu komitmen politik bersama di parlemen yang memastikan mandat lingkungan menjadi arus utama, mandat dan agenda strategis kebijakan daerah. Pembangunan kaukus lingkungan hidup di parlemen baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota bisa menjadi satu ruang konsolidasi politik dan aspirasi kepentingan publik untuk menghasilkan pengambilan keputusan/kebijakan yang pro lingkungan hidup dan sektor kebutuhan dasar lainnya.

Memilih Parlemen
Dalam situasi politik normal, pileg 2014 akan digelar 9 April nanti. Ribuan anggota parlemen akan dihasilkan dari 12 partai politik yang bertarung baik calon baru atau incumbent/anggota parlemen periode 2009-2014 yang pada saat ini secara mayoritas maju kembali dalam pemilihan.  

Bagi publik Jawa Barat yang akan memilih, tentu pengalaman lima tahun ke belakang akan menjadi pembelajaran politik bersama sekaligus pijakan pertimbangan untuk menentukan siapa yang benar-benar diyakini dan dipercaya bisa menjalankan mandat lingkungan hidup dan sektor publik lainnya.

Kini, rakyat/pemilih harus lebih rasional dan ideologis dalam memilih. Model-model kontrak politik transaksional jangka pendek sudah saatnya ditinggalkan. Mulailah keluar dari jebakan-jebakan politik uang yang hanya membawa pada persenyawaan perilaku dan budaya korup parlemen, kepala daerah dan birokrasi.

Minimalnya ada empat aspek yang bisa menjadi pertimbangan dalam memilih anggota parlemen ke depan, diantaranya pertama, kepemimpinan (leadership) yaitu memiliki kemampuan memimpin dan mengelola pemerintahan yang bersih, memiliki visi mendorong kebijakan pro lingkungan hidup dan publik. Kedua, kompetensi yakni memiliki rekam jejak, kapasitas dan prestasi nyata dalam memperjuangkan kepentingan publik dan praktik nyata dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Ketiga, integritas, yakni memiliki jiwa dan perilaku tidak korup, mengabdi pada rakyat dan tidak merusak lingkungan hidup. Keempat, komitmen, yakni memiliki kesungguhan, kepekaan, dan kepedulian nyata dalam memperjuangkan kepentingan lingkungan hidup dan sektor publik lainnya.

Pola sikap, pikir dan tindak keseharian caleg pada masa lalu dan sekarang, hingga cara dan etika caleg atau kandidat berkampanye untuk meraih dukungan politik sebanyak-banyaknya saat ini akan menjadi pertimbangan penting dalam memilih sekaligus memberikan mandat politik. Pada akhirnya, kualitas anggota parlemen ke depan sangat ditentukan rakyat sebagai pemilih dan pemberi mandat. Semoga, hasil pileg 2014 bisa menjawab harapan publik dan membawa perubahan nyata pada kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup lima tahun ke depan.

Penulis. Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Periode 2011-2015
Kontak 082116759688.

Perspektif Keadilan Tambang Panas Bumi



Perspektif Keadilan Tambang Panas Bumi

Munculnya gerakan penolakan Ciremai dari pengrusakan oleh eksploitasi dan penjualan energi panas bumi (geothermal) di Jawa Barat patut menjadi diskursus kritis dan disikapi semua pihak secara cermat dan bijak. Dibalik aksi reaktif penolakan masyarakat, patut kita periksa alasan-alasan mendasar mengapa gerakan penolakan muncul sebelum menilai negatif atas penolakan yang muncul.
Kasus rencana eksploitasi Gunung Ciremai hanyalah salah satu rencana pemerintah yang akan dijalankan berdasarkan kerangka kebijakan pembangunan dan politik energi negara ini. Kita pun perlu menyikapi rencana-rencana serupa lainnya seperti di Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Tampomas, Gunung Gede Pangrango. Bahkan, berangkat dari pengalaman, secara ekologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, patut mengkaji secara mendalam dampak-dampak negatif dan positif terhadap praktik eksploitasi panas bumi yang telah dijalankan selama kurang lebih 30 tahun di beberapa lokasi (eksisting) tambang panas bumi di Jawa Barat.
Ditengah-tengah gagasan dan pendapat para ahli yang menyatakan panas bumi merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan hidup, membiasakan debat kontruktif, dialog konsultatif tentang panas bumi, kebijakan dan dampaknya dari berbagai dimensi secara mendalam sangat penting dilakukan.
Membangun diskursus kritis sangat penting, agar masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan memiliki pengetahuan dan pembelajaran yang mendewasakan. Masyarakat memiliki informasi yang memadai.Pemerintah dan pengusaha semakin hati-hati dan professional dalam melakukan eksploitasi panas bumi di Jawa Barat, aspiratif dan akomodatif terhadap usulan rakyat dan nihildari tindakan manipulasi, kekerasan dan intimidasi.

Lumbung Energi
            Tatar Parahyangan Jawa Barat memang memiliki kekayaan sumber-sumber alam yang luar biasa. Jika kita cermati, negeri seribu sungai, mata air dan situ ini telah menjadi lumbung beragam energi yang menggerakan kehidupan. Keanekaragaman pangan, air dan hutan serta panas bumi melimpah ruah di Jawa Barat meskipun ancaman degradasi ekologi terus mengintai dan mengancam.
Terletak di jalur cincin gunung api dunia, Jawa Barat kaya akan sumber energi panas bumi yang luar biasa dan kekayaan itu tersimpan di jalur gunung-gunung berapi sakral yang rimbun dengan hutan-hutan alami yang berfungsi konservasi, generator alami dan reservoir air dan penyedia udara sehat.
Potensi panas bumi Jawa Barat tersebar dihamparan koridor ekologi. Berkah panas bumi termasuk mineral didalam perut bumi, tersimpan di pegunungan-pegunungan sakral yang memiliki nilai sejarah dan kebudayaan masa lalu yang elok seperti Gunung Halimun, Salak, Gede Pangrango, Patuha, Wayang Windu, Papandayan, Karaha Bodas, Tangkuban Perahu, Burangrang, Galunggung, Tampomas, Ciremai, Cisolok, Kromong dll. Potensi panas bumi Jawa Barat tersebar di 38 lokasi dengan kapasitas sekitar  6000 Megawatt, mampu menyediakan 30% sumber energi panas bumi di Indonesia.
           
Perspektif Keadilan
Gagasan eksploitasi energi panas bumi sebagai energi terbarukan di masa depan telah dilegalisasi oleh Undang-Undang No 27 Tahun 2003 (sedang direvisi), undang penataan ruang, ketenagalistrikan, pertambangan mineral dan batubara, kehutanan dan lingkungan hidup dan aturan-aturan turunannya. Sebelum Undang-Undang Panas Bumi muncul, Keputusan Presiden No 22 tahun 1981 telah melegalisasi tambang panas bumi di Jawa Barat di tujuh lokasi.
Meskipun kerangka legal sudah ada, mengkaji kembali praktik tambang panas bumi dari berbagai dimensi adalah sebuah keharusan. Selalu ada gap antara teori dengan praktik di lapangan. Mengkaji urai tata kelola energi panas bumi dari perspektif politik keadilan menjadi satu pendekatan yang bisa digunakan. Secara mendalam, kemudian, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?. Dalam perspektif keadilan dan hak, politik panas bumi bisa diperiksa dari aspek keadilan ekologi, informasi publik, energi, ekonomi, sosial dan budaya setempat.
Dari perspektif keadilan ekologi, dari pengalaman, praktik tambang panas bumi sudah dipastikan akan mengubah bentang alam satu kawasan baik hutan ataupun kebun. Apapun bentuk dan metode teknologi yang digunakan, pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana hingga pengeboran tentu akan mengubah bentang alam dimana lokasi panas bumi ditetapkan. Meskipun, instrumen AMDAL menjadi kendali kerusakan alam namun kerusakan ekosistem, perubahan rona lingkungan, sosial dan budaya  serta wilayah di lokasi pasti terjadi.
Dari pengalaman Sibayak di Sumatra selama proses eksploitasi terjadi pengupasan bukit dan gunung, pembangunan kolam penampungan air hasil injeksi yang memakan lahan luas. Di Gunung Dieng Jawa Tengah, kebocoran pipa gas panas bumi telah mengalirkan gas racun asam sulfida, metana dan mineral lainnya sudah terbukti mencemari sawah-sawah penduduk dan melukai tubuh para petani. Dari Wayang Windu Pangalengan, proses eksploitasi panas bumi menimbulkan getaran-getaran dan gempa-gempa kecil yang merisaukan penduduk setempat. Di Cagar Alam Papandayan, pembuatan sarana dan saluran sumur-sumur telah merusak ekosistem flora dan fauna dan mengupas punggung  bukit dengan hutan alaminya.
Ronald DiPippo, 2005 dalam bukunya yang berjudul  Geothermal Power Plant: Principles, Applications, and Case Studies menjelaskan air yang diinjeksikan ke dalam saluran pengeboran akan mengandung berbagai mineral berbahaya jika terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup. Mineral itu diantaranya Arsenic (As), Lithium (Li), Boron (B), Magnesium (Mg), Calcium (Ca), Potassium (Po), Chloride (Cl), Silicon (Si), Fluoride (F), dan Sodium (Na).
Secara kebencanaan terhadap dampak tambang panas bumi di Jawa Barat pun penting disiapkan. Sebagian besar, wilayah penambangan panas bumi di Jawa Barat dilakukan di kawasan-kawasan yang rentan bencana karena memiliki kontur tanah alluvial dan struktur geologi tanah yang cepat bergerak jika getaran timbul. Selain itu, fenomena kekeringan di wilayah sekitar kawasan tambang panas bumi penting juga diperiksa karena injeksi membutuhkan volume air yang cukup besar dan butuh sumber air sebagai penyedianya.
 Dalam perspektif keterbukaan informasi, dari pemeriksaan yang dilakukan, sebagian masyarakat yang berada di wilayah kerja pertambangan panas bumi belum mendapatkan secara memadai keseluruhan informasi kebijakan panas bumi. Banyak masyarakat tidak mengetahui dokumen rencana tata ruang dan wilayah, teknologi, perijinan, dampak positif dan negatif tambang panas bumi yang akan diterima masyarakat. Selama ini, pemerintah pun belum memberikan informasi yang lengkap atas keseluruhan rencana dan dampak eksploitasi panas bumi. Padahal, pihak yang terkena dampak adalah pihak yang harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan tambang panas bumi termasuk memberikan persetujuan dan penolakannya.
Dalam perspektif keadilan energi, patut kita periksa apakah pemanfaatan energi panas bumi memberikan rasa keadilan rakyat untuk mendapatkan energi(listrik) yang layak. Sebagai catatan, kurang lebih 20% rumah tangga di Jawa Barat belum mendapatkan akses energi listrik yang memadai bahkan rata-rata konsumsi energi listrik rumah tangga masih jauh dari rata-rata rumah tangga di negara Malaysia dan Singapura. Pertanyaannya, kemana energi panas bumi ini digunakan? Untuk siapa?. Sangat jelas, kebijakan investisasi besar-besaran maka segelintir pihak swasta dan pemilik industri besar menjadi penikmat utama pasokan energi listrik kita.
Dalam perspektif keadilan ekonomi, jika pembangunan energi panas bumi digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Jawa Barat namun kita masih melihat taraf hidup masyarakat di sekitar kawasan tambang panas bumi berada di bawah garis kemiskinan. Tak sedikit dari mereka juga masih memiliki pendidikan rendah dan kualitas kesehatan dan infrastruktur yang memadai. Berdasarkan data yang tersedia, sekitar 12 juta rakyat Jawa Barat pun masih berada di garis kemiskinan. Meskipun ada kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan, pada praktiknya belum sepenuhnya dijalankan dan menjawab masalah keadilan ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat sekitar.
 Dalam Perspektif keadilan sosial dan budaya, sesungguhnya kebijakan dan modernisasi teknologi panas bumi yang merambah hutan-hutan larangan, titipan dan baladahan sudah menegasikan pranata sosial dan budaya arif masyarakat lokal. Bahkan, penambangan panas bumi telah menghancurkan tatanan sosial dan budaya masyarakat yang dulu begitu arif merawat hutan-hutan alami yang ada sebagai sumber kehidupan untuk bertahan hidup. Akibatnya, masyarakatpun memiiliki nilai baru yang memicu untuk merambah hutan-hutan di sekitarnya karena alasan kehidupan ekonomi keseharian.
            Pendapat yang dikemukan di atas hanyalah evaluasi dan refleksi penulis melihat realitas yang terjadi. Tentunya, pemeriksaan lebih mendalam dan tajam atas praktik tambang panas bumi, keuntungan dan kerugian perlu diperiksa dari aspek kebijakan politik ekonomi yang memakmurkan dan praktiknya di lapangan.
Ke depan, pemerintah dan pemerintah daerah perlu membangun arah dan kebijakan pengelolaan energi panas bumi lebih menjamin keadilan dan kemakmuran yang sebenar-benarnya. Sudah menjadi kewajiban, pemerintah memberikan ruang dialog/konsultasi dan informasi yang lebih terbuka agar kualitas pengambilan keputusan publik lebih baik dan rakyat dapat memberikan keputusan menolak atau menerima atas dasar pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya secara utuh.

Penulis. Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat.
No Hp.082116759688.

Politik Anggaran Lingkungan Hidup di Daerah



Politik Anggaran Lingkungan Hidup di Daerah

Dalam pengertian paling sederhana, anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dikelola oleh pemerintahan daerah untuk sebesar-besarnya kepentingan pembangunan publik di daerah. Anggaran daerah yang biasa dikenal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan produk politik atau kebijakan politik yang dirumuskan dan disepakati oleh pemerintah dan parlemen di daerah.

Walaupun bukan satu-satunya jawaban mujarab dalam mengatasi permasalahan ketimpangan pembangunan daerah, anggaran merupakan instrumen penting dalam pembangunan daerah, tak terkecuali anggaran untuk kepentingan pemulihan dan pemajuan kualitas lingkungan hidup akibat dampak dari pembangunan di daerah.

Anggaran untuk kepentingan lingkungan hidup merupakan salahsatu instrumen kebijakan di daerah seiring dengan semakin masifnya kerusakan dan bencana lingkungan hidup serta degradasi layanan alam akibat pembangunan ruang dan wilayah yang dijalankan. Dalam konteks penganggaran untuk kepentingan urusan lingkungan hidup, maka setidaknya politik anggaran daerah dapat diarahkan pada ranah pencegahan, pemulihan dan pengendalian serta promosi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh masyarakat.

Masalah Politik Anggaran
Berangkat dari praktik penganggaran pembangunan urusan lingkungan hidup di Jawa Barat, ada beberapa permasalahan politik anggaran daerah yang memiliki implikasi pada upaya pemajuan kualitas lingkungan hidup di daerah.

Pertama, rendahnya komitmen pemerintahan daerah untuk mengarusutamakan kepentingan lingkungan hidup menjadi agenda prioritas kebijakan pembangunan daerah. Rendahnya komitmen ini akan berpengaruh perumusan kebijakan dan program lingkungan hidup dan kuantitas besar dan kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor lingkungan hidup.

Kedua, sangat kecilnya jumlah anggaran daerah untuk urusan lingkungan hidup. Dari pemeriksaan APBD, rata-rata alokasi belanja daerah untuk urusan lingkungan hidup sekitar 1% dari total belanja pembangunan daerah. Bahkan, banyak kabupaten/kota di Jawa Barat yang mengalokasikan anggaran lingkungan hidup di bawah 1%. Alokasi anggaran daerah banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan belanja gaji pegawai atau aparatur pemerintah daerah.

Ketiga, anggaran lingkungan hidup yang dialokasikan pun masih belum seutuhnya untuk kepentingan lingkungan hidup. Dari satu persen yang dialokasikan masih termasuk belanja aparatur pemerintah. Jika dihitung, dari total belanja pembangunan hanya sekitar 0,6% dibelanjakan untuk kepentingan lingkungan hidup di luar belanja pegawai/aparatur pemerintah. Bahkan, alokasi anggaran dipakai untuk belanja-belanja yang tidak langsung menjawab masalah seperti belanja workshop, pelatihan, riset dan pengadaan alat-alat kantor.

Keempat, alokasi anggaran lingkungan hidup, belum diorientasikan bagi upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Alokasi anggaran yang sangat kecil tersebut banyak dialokasikan untuk penanganan masalah yang pada realisasinya tidak efektif, tidak menjawab masalah dan rawan di korupsi.  

Kelima, rendahnya keterlibatan publik dalam proses politik perumusan anggaran lingkungan hidup. Praktik perumusan anggaran menjadi milik dan dikuasai oleh pemerintah dan parlemen daerah. Pada kebanyakan kasus, kebijakan anggaran tidak berangkat dari usulan-usulan masyarakat/kelompok/organisasi masyarakat yang bergerak di sektor lingkungan hidup. Rendahnya keterlibatan publik sudah terjadi sejak perencanaan pembangunan hingga ke tahap penganggaran di daerah mulai dari penyusunan kebijakan umum anggaran (KUA) hingga penetapan APBD.

Di luar APBN dan APBD sebagai anggaran negara, alokasi anggaran lingkungan hidupbersumber dari perusahaan-perusahaan baik negara dan swasta. Perusahaan memiliki tanggung jawab sosial untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat dari pembangunan dan aktivitas usahanya yang memberikan dampak terhadap lingkungan hidup sekitarnya.

Namun, kontrol pemerintahan daerah untuk memastikan pemenuhan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan hidup dan publik masih sangat rendah. Kebijakan pemerintahan daerah untuk memaksa perusahaan mengeluarkan dana atau anggaran untuk kepentingan lingkungan hidup belum banyak dijalankan. Dalam praktiknya, tanggung jawab sosial perusahaan banyak dikeluarkan untuk kepentingan promosi atau iklan untuk perusahaan itu kembali.

Solusi Ke Depan

Melihat realitas ini, maka diperlukan beragam tindakan agar kebijakan politik anggaran sektor lindungan hidup mengalami perubahan dan alokasi anggaran bisa dibelanjakan dan memberikan dampak nyata pada pemulihan kerusakan dan kemajuan kualitas lingkungan hidup di daerah.

Pertama, pemerintahan daerah harus mengorientasikan kebijakan dan alokasi anggaran sektor lingkungan hidup diarahkan pada ranah pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Kebijakan ini perlu untuk mengurangi biaya resiko kerusakan lingkungan hidup itu sendiri.

Kedua, dalam ranah penanganan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup, pemerintahan daerah harus membuat terobosan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memastikan tanggung jawab sosial perusahaan dijalankan dan partisipasi publik dilibatkan dalam perumusan kebijakan perencanaan dan penganggaran.

Ketiga, pemerintahan daerah harus mengurangi belanja-belanja yang tidak memiliki hubungan langsung dengan upaya pencegahan dan penanganan kerusakan lingkungan hidup. Pemerintahan Daerah harus mengurangi belanja-belanja seperti pegawai di luar gaji, workshop, pelatihan-pelatihan, pengadaan ATK yang tidak perlu dll.

Keempat, alokasi anggaran seharusnya dikeluarkan untuk mendukung upaya-upaya nyata masyarakat/komunitas yang berpartipasi dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup yang saat ini porsinya masih kecil.

Di tengah keraguan publik,  kita masih berharap anggota parlemen hasil Pemilu 2014 dapat berkontribusi nyata dalam mengubah kebijakan politik anggaran lingkungan hidup yang saat ini belum memihak pada kepentingan publik dan lingkungan hidup. Kontrol publik pun sangat diperlukan untuk mengawal dan mengawasi kinerja parlemen, kepala daerah dan biroraksi ke depan.

Penulis.Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat.
No Kontak 082116759688